Bagaimana bila dompet kita ternyata tak lagi bisa menampung uang yang kita bawa? Punya banyak uang tapi uang itu tak ada nilainya.

Nah, ini yang terjadi di Venezuela, sebuah negara di Amerika Selatan. Penduduknya punya banyak uang tetapi alat tukar itu tidak bernilai, hanya kertas belaka bak tumpukan sampah.

Krisis ekonomi yang tengah membelit Venezuela membawa negara tersebut pada "neraka". Protes merebak di mana-mana meminta sang presiden, Nicholas Maduro turun dari jabatannya.

Korban berjatuhan akibat protes. Sementara itu, sang pemimpin tetap bergeming tanpa ada kejelasan pasti bagaimana krisis tersebut akan berakhir.

Warga Venezuela mulai menjarah supermarket dan menyeberangi perbatasan ke Kolombia hanya demi makanan pokok dan kebutuhan sehari-hari.

Bayangkan, untuk membeli secangkir kopi saja, butuh uang kertas hampir satu jengkal tangan.

Rakyat menjerit. Barang kebutuhan pokok dan obat-obatan menghilang. Kalau pun ada harganya pasti terbang tinggi, tidak lagi melambung.


Putus asa merambat. Orang sampai mengais lumpur got berharap ada barang berharga yang hanyut yang bisa dijual untuk mengisi perut.

Mengapa keadaan bisa begitu?

Venezuela adalah negara yang sangat kaya akan minyak. Penghasil terbesar malah untuk kawasan benua Amerika.

Tetapi Presiden sebelumnya, Hugo Chaves (memerintah 1999-2013) sangat memanjakan rakyatnya. Demi kelanggengan kekuasaanya, ia meninabobokan penduduk Venezuela dengan gelontoran aneka subsidi.

Saat harga minyak mahal sekali, di atas 120 dollar per barel, alih-alih uang yang masuk ke kas negara untuk ditabung dan membangun, tetapi malah dihamburkan dalam bentuk bermacam subsidi. Untuk perut dan BBM.

Pada tahun 2012, seorang wartawan kaget sekali ketika meliput di Ibukota Caracas, semasa Chaves berkuasa, ia hanya mengeluarkan uang Rp. 27.500 untuk mengisi jeepnya dengan 40 liter bensin. Murah sekali. Hanya sekitar Rp. 678 per liter. Kurang dari Rp. 700!.

Rakyat memang senang kala itu. BBM murah, semua barang ikut murah juga.

Mendadak memasuki 2013 harga minyak dunia mulai rontok, tahun berikutnya menukik lagi, hingga menyentuh hanya 40 dollar per barel.

Ekspor minyak yang selama ini jadi andalan 90 persen pendapatan negara, langsung melempem.

Pemerintah tak lagi punya uang kontan untuk kemanjaan bernama subsidi. Barang kebutuhan mulai langka. Kalau pun ada harganya mahal.

Bolivar, mata uang Venezuela rontok nilainya terhadap dollar. Krisis sudah di depan mata.

Bila dahulu niai tukar satu dollar hanya kisaran 15.000 bolivar, maka hari ini nilainya mencapai 220.000 bolivar per satu dolar.

Upah harian resmi pekerja di Venezuela, sekitar 97.000 bolivar per hari, dahulu sekitar 6-7 dollar, sekarang jadi hanya 50 sen dollar.

Pemerintah lalu terdorong mangambil langkah pendek, yakni mencetak uang baru sebanyak mungkin guna mengejar ketinggalan nilai mata uang dan memenuhi kebutuhan.

Pasar lalu bereaksi keras. Inflasi bergerak cepat, suatu keadaan dimana harga barang dan nilai mata uang dalam negeri tidak berjalan beriringan. Harga bergerak naik, nilai mata uang malah turun.

Saat ini inflasi di Venezuela sudah menuju angka 15.000 persen.

Mengerikan.

PHK terjadi dimana-mana. Bila tidak segera ditolong, Venezuela sedang dalam perjalanan menuju hiperinflasi dan efeknya bisa merembet ke negara tetangga.

Pada 1923, Jerman pernah mengalami hiperinflasi. Enam digit. inflasi sudah 1 juta bahkan 1,5 juta persen.

Untuk membeli roti tawar saja, orang harus memakai koper dan gerobak sorong untuk membawa uangnya.

Kekacauan terjadi dimana-mana. Selain sulit untuk mencari makan, rakyat Jerman (karena perjanjian Versailles) juga harus membayar kompensasi karena kalah perang dalam Perang Dunia pertama 1914-1918. Jumlahnya sangat besar, 6 milyar Pounsterling, atau dicicil 50 juta pound setiap tahun kepada Sekutu. Beban yang sangat berat.


Pada saat itu orang-orang kaya di Jerman kebingungan, tapi mereka masih memiliki asset-asset berupa tanah, rumah, dan emas. Dari kesemuanya itu ternyata yang paling bisa diandalkan adalah simpanan berupa emas. Mengapa? karena harganya mengikuti laju inflasi. Sehingga nilai asset para pemilik emas relatif aman dan stabil.

Dalam keputusasaan ini muncullah orang yang datang sebagai dewa penolong, atau paling tidak didewakan karena diyakiini bisa membawa rakyat Jerman keluar dari segala kesulitan hidup.

Dia adalah Gustav Stresemann. Sebagai seorang kanselir dan menteri luar negeri, Stresemann menjalankan politik fulfillment dalam rangka memenuhi poin-poin penting dalam Perjanjian Versailles.

Hal ini dilakukan karena menurut Stresemann, salah satu langkah untuk menyelematkan Jerman dari hiperinflasi pada waktu itu adalah menunjukkan niat baiknya untuk bekerja sama dengan negara-negara seperti Inggris dan Prancis. Stresemann juga menyetujui Dawes Plan yang memuat poin-poin penting dalam pembayaran hutang Jerman dan rehabilitasi ekonomi pasca Perang Dunia I.

Stresemann kemudian kembali memperlihatkan niat baik Jerman dengan menginisiasi Perjanjian Locarno yang berisi bahwa Jerman telah menetapkan batas untuk wilayahnya bagian barat dan tidak akan menginvasi Belgium serta Prancis, demiliterisasi Rhineland, dan Jerman tidak akan menggunakan kekerasan serta paksaan untuk menyelesaikan permasalahan.

Setelah perjanjian ini diratifikasi, Jerman secara resmi menjadi anggota Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1925. Di bawah kepemimpinan Stresemann, ekonomi Jerman membaik hingga tahun 1929 ketika Ia meninggal. Semasa kepemimpinan Stresemann, Jerman juga turut serta menandatangani Pakta Briand-Kellogg yang digagas oleh Prancis, Artiste Briand dan disetujui oleh Amerika Serikat, Frank B. Kellogg.

Kembali lagi ke Venezuela, siapa yang menyangka, negeri kaya minyak ini bisa tersungkur. Dahulu paling kaya di benua Amerika Selatan. Orang Kolombia, negara tetangga sebelah utara, sampai berbondong-bondong masuk, untuk bekerja di berbagai ladang minyak yang tersebar di seantero negeri.

Waktu kebijakan minyak murah demi rakyat di dalam negeri, sebenarnya juga sangat menguntungkan oknum tentara, polisi dan pejabat korup. Dengan memakai peralatan milik negara, truk, tangki dan kapal, mereka justru menyelundupkan minyak ke pasar gelap di negara tetangga yang berani membeli dengan harga mahal.

Kini, keadaannya berbalik. Orang Venezuela berebutan lari ke luar negeri dan masuk Kolombia. Mereka mengungsi. Jumlahnya ribuan. Para pengungsi ini bukan hanya butuh kerja dan tempat tinggal, tetapi, mereka juga kelaparan.

Nyaris, tak ada yang bisa dikerjakan di Venezuela. Harga pangan terbang tinggi. Kejahatan meningkat. Toko dan pasar swalayan buka tapi hanya beberapa barang yang dijual. Apotik kosong. PHK dimana-mana. Dan orang-orang yang mencari kerja ada di setiap jalan. Orang-orang ini mau kerja apa saja tak usah dibayar uang, tapi dengan pangan.

Di perbatasan, orang-orang Kolombia membeli apa saja yang dibawa pengungsi dengan harga sangat murah demi makan. Termasuk rambut. Betul, rambut di kepala bisa dipotong dan di jual dan dijadikan bahan baku wig. Para wanita Venezuela duduk berjejer, memotong rambut mereka agar hari ini keluarganya bisa makan.


Penjarahan juga terjadi dimana-mana, bahkan truk pembawa pangan pun tak luput dari jarahan. Yang lebih miris lagi, penjarahan juga dilakukan di tengah laut. Dengan memakai sampan, orang-orang yang lapar menyerbu kapal-kapal nelayan dan merampok ikan apa saja yang ada.

Ngeri.

Alih-alih masalah ekonomi yang seharusnya lebih dahulu untuk dibenahi, Nicolas Maduro, Presiden sekarang, malah bersikap represif. Ia menangkapi orang-orang yang dianggap melawan kebijakannya.

Lebih blunder lagi, Maduro justru mengeluarkan Petro, uang virtual, yang saat ini pamornya justru lagi merolot.

Sebetulnya, dalam keadaan susah, inilah momen terbaik bagi sebuah bangsa untuk bersatu. Mereka harus bahu membahu mengatasi krisis.

Negara kita, termasuk kenyang dalam mengalami krisis seperti ini. 10 Maret 1950, uang rupiah kita pernah digunting Menteri Keuangan waktu itu, Syafrudin Prawiranegara, menjadi dua bagian. Nilainya hanya separuh. Yang bagian kiri ditukar dengan uang baru. Diberi batas waktu. Bila lewat, uang yang telah digunting jadi tak berlaku.

Ada juga kejadian lucu yang terjadi di awal 1960, saat pemerintah mengumumkan bahwa besok dua mata uang pecahan 1.000 rupiah akan turun nilainya jadi hanya tinggal 100 rupiah. Dan pecahan 500 menjadi hanya bernilai 50 rupiah saja. Pengumumannya terkesan mendadak dan hanya melalui radio RRI saja, belum ada TVRI (televisi baru 24 Agustus 1962). Akibatnya, warga yang tahu perubahan itu pagi-pagi segera membelanjakan uang 1.000 dan 500 mereka pada toko yang pemiliknya tidak mengahahui akan adanya berubahan nilai mata uang.

Si pemilik senang bukan main, tokonya mendadak diserbu orang, tanpa tahu bahwa uang yang diterima sebenarnya telah berubah nilainya. Ia curiga, kok para pembeli tokonya hanya membawa dua macam mata uang saja.

Menjelang siang baru ia sadar bahwa tumpukan uang yang ia terima, nilainya kini hanya tinggal 10 persen saja. Panik, lemas. Ia kemudian buru-buru menutup tokonya. Tak kurang akal, si pemilik toko segera lari ke pinggir kota dan memborong apa saja pada toko-toko kecil yang penjualnya belum tahu akan adanya perubahan nilai. Bahkan sampai meludeskan domba dan kambing peternak yang tak tahu apa-apa.

Puncak kesedihan, di awal tahun 1965 saat uang seribu rupiah berlaku hanya tinggal satu rupiah saja. Peristiwa yang disebut dengan Sanering. Maklum, inflasi saat itu sudah 650 persen dan defisit anggaran sudah menyentuh angka 63,4 %. Harga melonjak. Rupiah anjlok. Protes terjadi dimana-mana. Puncaknya, peristiwa G30S/PKI yang membuat bangsa terbelah, dan pemerintahan yang dibangun dengan susah payah pun jatuh.

Sumber Sumber Sumber Sumber Sumber Sumber